Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan,
Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya sama menyembah Allah, dengan tulus ikhlas menjalankan agama untuk-Nya semata-mata, berdiri lurus dan menegakkan shalat serta menunaikan zakat dan yang sedemikian itulah agama yang benar." (al-Bayyinah: 5)
Allah Ta'ala berfirman pula:
"Sama sekali tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang korban itu, tetapi akan sampailah padaNya ketaqwaan dan engkau sekalian." (al-Haj: 37).
Allah Ta'ala berfirman pula:
"Katakanlah - wahai Muhammad,sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di dalam hatimu ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh Allah." (ali-lmran: 29)
- Pertama
- Ke dua
- Ke tiga
- Ke empat
- Ke lima
- Ke enam
- ke Tujuh
- Ke Delapan
- Ke Sembilan
- Ke Sepuluh
- Ke Sebelas
- Ke Dua belas
Dari Amirul mu'minin Abu Hafs iaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul 'Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin 'Adi bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi al-'Adawi r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda [3] :
"Hanyasanya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya dan hanyasanya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu untuk harta dunia yang hendak diperolehinya, ataupun untuk seorang wanita yang hendak dikahwininya, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam hijrahnya itu."
(Muttafaq (disepakati) atas keshahihannya Hadis ini)Diriwayatkan oleh dua orang imam ahli Hadis iaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju'fi Albukhari, - lazim disingkat dengan Bukhari saja -dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, - lazim disingkat dengan Muslim saja - radhiallahu 'anhuma dalam kedua kitab masing-masing yang keduanya itu adalah seshahih-shahihnya kitab Hadis yang dikarangkan.
Keterangan:
Hadis di atas adalah berhubung erat dengan persoalan niat. Rasulullah s.a.w. menyabdakannya itu ialah kerana di antara para sahabat Nabi s.a.w. sewaktu mengikuti untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais. Beliau s.a.w. mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana di atas.
Oleh kerana orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun sedemikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut sekali sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah s.a.w.
Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita yang ingin dikahwin, sedang sahabat beliau s.a.w. yang lain-lain dengan tujuan menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah.
Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut sama-sekali.
Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnya pun kosong. Lain sekali dengan sahabat-sahabat beliau s.a.w. yang dengan keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya, pahalanya pun besar sekali kerana hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keredhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun datangnya Hadis itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air sembahyang atau wudhu', mandi shalat dan lain-lain sebagainya.
Perlu pula kita maklumi bahawa barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seseorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini orang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi:
"Niat seseorang itu lebih baik daripada amalannya."Maksudnya: Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.
Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya,agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam-imam Syafi'i, Maliki dan Hanbali mewajibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu', tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah.
Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis dan lain-lain.
Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadat serta bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadat bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah pahalanya.
Dari Ummul mu'minin iaitu ibunya - sebenarnya adalah bibinya - Abdullah yakni Aisyah radhiallahu 'anha, berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Ada sepasukan tentera yang hendak memerangi - menghancurkan - Ka'bah, kemudian setelah mereka berada di suatu padang dari tanah lapang lalu dibenamkan-dalam tanah tadi -dengan yang pertama sampai yang terakhir dari mereka semuanya."
Aisyah bertanya: "Saya berkata, wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedang di antara mereka itu ada yang ahli pasaran - maksudnya para pedagang - serta ada pula orang yang tidak termasuk golongan mereka tadi - yakni tidak berniat ikut menggempur Ka'bah?"
Rasulullah s.a.w. menjawab: "Ya, semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka itu akan diba'ats - dibangkitkan dari masing-masing kuburnya - sesuai niat-niatnya sendiri - untuk diterapi dosa atau tidaknya.
Disepakati atas Hadis ini (Muttafaq 'alaih) - yakni disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim - Lafaz di atas adalah menurut Imam Bukhari.
Keterangan:Sayyidah Aisyah diberi gelar Ummul mu'minin, yakni ibunya sekalian orang mu'min sebab beliau adalah isteri Rasulullah s.a.w., jadi sudah sepatutnya. Beliau juga diberi nama ibu Abdullah oleh Nabi s.a.w., sebenarnya Abdullah itu bukan puteranya sendiri, tetapi putera saudarinya yang bernama Asma'. Jadi dengan Sayidah Aisyah, Abdullah itu adalah anak tiri nya. Adapun beliau ini sendiri tidak mempunyai seorang putera pun.
Dari huraian yang tersebut dalam Hadis ini, dapat diambil kesimpulan bahawa seseorang yang shalih, jika berdiam di lingkungan suatu golongan yang selalu berkecimpung dalam kemaksiatan dan kemungkaran, maka apabila Allah Ta'ala mendatangkan azab atau siksa kepada kaum itu, orang shalih itu pun pasti akan terkena pula. Jadi Hadis ini mengingatkan kita semua agar jangan sekali-kali bergaul dengan kaum yang ahli kemaksiatan, kemungkaran dan kezaliman.
Namun demikian perihal amal perbuatannya tentulah dinilai sesuai dengan niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya itu.
Mengenai gelar Ummul mu'minin itu bukan hanya khusus diberikan kepada Sayidah Aisyah radhiallahu 'anha belaka, tetapi juga diberikan kepada para isteri Rasulullah s.a.w. yang lain-lain.
Dari Aisyah radhiallahu 'anha, berkata: Nabi s.a.w. bersabda: "Tidak ada hijrah setelah pembebasan - Makkah - [4], tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Maka dari itu, apabila engkau semua diminta untuk keluar - oleh imam untuk berjihad, - maka keluarlah – yakni berangkatlah." (Muttafaq 'alaih)
Maknanya: Tiada hijrah lagi dari Makkah, sebab saat itu Makkah telah menjadi perumahan atau Negara Islam.
Dari Abu Abdillah iaitu Jabir bin Abdullah al-Anshari radhiallahu'anhuma, berkata: Kita berada beserta Nabi s.a.w. dalam suatu peperangan - iaitu perang Tabuk - kemudian beliau s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya di Madinah itu ada beberapa orang lelaki yang engkau semua tidak menempuh suatu perjalanan dan tidak pula menyeberangi suatu lembah, melainkan orang-orang tadi ada besertamu - yakni sama-sama memperolehi pahala - mereka itu terhalang oleh sakit - maksudnya andaikata tidak sakit pasti ikut berperang." Dalam suatu riwayat dijelaskan: "Melainkan mereka - yang tertinggal itu - bersekutu dengan mu dalam hal pahalanya." (Riwayat Muslim)
Hadis sebagaimana di atas, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Kita kembali dari perang Tabuk beserta Nabi s.a.w., lalu beliau bersabda:
"Sesungguhnya ada beberapa kaum yang kita tinggalkan di Madinah, tiada menempuh kita sekalian akan sesuatu lereng ataupun lembah, [5] melainkan mereka itu bersama-sama dengan kita jua -jadi memperolehi pahala seperti yang berangkat untuk berperang itu - mereka itu terhalang oleh sesuatu keuzuran."
Dari Abu Yazid iaitu Ma'an bin Yazid bin Akhnas radhiallahu 'anhum. Ia, ayahnya dan neneknya adalah termasuk golongan sahabat semua. Kata saya: "Ayahku, iaitu Yazid mengeluarkan beberapa dinar yang dengannya ia bersedekah, lalu dinar-dinar itu ia letakkan di sisi seseorang di dalam masjid. Saya - yakni Ma'an anak Yazid - datang untuk mengambilnya, kemudian saya menemui ayahku dengan dinar-dinar tadi. Ayah berkata: "Demi Allah, bukan engkau yang kukehendaki - untuk diberi sedekah itu."
Selanjutnya hal itu saya adukan kepada Rasulullah s.a.w., lalu beliau bersabda:
"Bagimu adalah apa yang engkau niatkan hai Yazid – yakni bahawa engkau telah memperolehi pahala sesuai dengan niat sedekahmu itu - sedang bagimu adalah apa yang engkau ambil, hai Ma'an - yakni bahawa engkau boleh terus memiliki dinar-dinar tersebut, kerana juga sudah diizinkan oleh orang yang ada di masjid, yang dimaksudkan oleh Yazid tadi." (Riwayat Bukhari)
Dari Abu Ishak, yakni Sa'ad bin Abu Waqqash, yakni Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai al-Qurasyi az-Zuhri r.a., iaitu salah satu dari sepuluh orang yang diberi kesaksian akan memperolehi syurga radhiallahu 'anhum, katanya:
Rasulullah s.a.w. datang padaku untuk menjengukku pada tahun haji wada' - yakni haji Rasulullah s.a.w. yang terakhir dan sebagai haji pamitan - kerana kesakitan yang menimpa diriku, lalu saya berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saja kesakitanku ini telah mencapai sebagaimana keadaan yang Tuan ketahui, sedang saya adalah seorang yang berharta dan tiada yang mewarisi hartaku itu melainkan seorang puteriku saja. Maka itu apakah dibenarkan sekiranya saya bersedekah dengan dua pertiga hartaku?" Beliau menjawab: "Tidak dibenarkan." Saya berkata pula: "Separuh hartaku ya Rasulullah?" Beliau bersabda: "Tidak dibenarkan juga." Saya berkata lagi: "Sepertiga, bagaimana ya Rasulullah?" Beliau lalu bersabda: "Ya, sepertiga boleh dan sepertiga itu sudah banyak atau sudah besar jumlahnya. Sesungguhnya jikalau engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya-kaya, maka itu adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta pada orang banyak. Sesungguhnya tiada sesuatu nafkah yang engkau berikan dengan niat untuk mendapatkan keredhaan Allah, melainkan engkau pasti akan diberi pahalanya, sekalipun sesuatu yang engkau berikan untuk makanan isterimu."
Abu Ishak meneruskan huraiannya: Saya berkata lagi: "Apakah saya ditinggalkan - di Makkah - setelah kepulangan sahabat-sahabatku itu?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya engkau itu tiada ditinggalkan, kemudian engkau melakukan suatu amalan yang engkau maksudkan untuk mendapatkan keredhaan Allah, melainkan engkau malahan bertambah darjat dan keluhurannya. Barangkali sekalipun engkau ditinggalkan - kerana usia masih panjang lagi -, tetapi nantinya akan ada beberapa kaum yang dapat memperolehi kemanfaatan dari hidupmu itu - yakni sesama kaum Muslimin, baik manfaat duniawiyah atau ukhrawiyah - dan akan ada kaum lain-lainnya yang memperolehi bahaya dengan sebab masih hidupmu tadi - yakni kaum kafir, sebab menurut riwayat Abu Ishak ini tetap hidup sampai dibebaskannya Irak dan lain-lainnya, lalu diangkat sebagai gubernor di situ dan menjalankan hak dan keadilan.
Ya Allah, sempurnakanlah pahala untuk sahabat-sahabatku dalam hijrah mereka itu dan janganlah engkau balikkan mereka pada tumit-tumitnya - yakni menjadi murtad kembali sepeninggalnya nanti.
Tetapi yang miskin - rugi - itu ialah Sa'ad bin Khaulah.”
Rasulullah s.a.w. merasa sangat kasihan padanya sebab matinya di Makkah. (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:Sa'ad bin Khaulah itu dianggap sebagai orang yang miskin dan rugi, kerana menurut riwayat ia tidak mengikuti hijrah dari Makkah, jadi rugi kerana tidak ikutnya hijrah tadi. Sebahagian riwayat yang lain mengatakan bahawa ia sudah mengikuti hijrah, bahkan pernah mengikuti perang Badar pula, tetapi akhirnya ia kembali ke Makkah dan terus wafat di situ sebelum dibebaskannya Makkah saat itu. Maka ruginya ialah kerana lebih sukanya kepada Makkah sebagai tempat akhir hayatnya, padahal masih di bawah kekuasaan kaum kafir. Ada lagi riwayat yang menyebutkan bahawa ia pernah pula mengikuti hijrah ke Habasyah, mengikuti pula perang Badar, kemudian mati di Makkah pada waktu haji wada' tahun 10, ada lagi yang meriwayatkan matinya itu pada tahun 7 di waktu perletakan senjata antara kaum Muslimin dan kaum kafir. Jadi kerugiannya di sini ialah kerana ia mati di Makkah itu, kerana kehilangan pahala yang sempurna yakni sekiranya ia mati di Madinah, tempat ia berhijrah yang dimaksudkan semata-mata sebab Allah Ta'ala belaka.
" إن الله لا ينظر إلى أجسامكم ، ولا إلى صوركم، ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم" ((رواه مسلم)).
Dari Abu Hurairah, iaitu Abdur Rahman bin Shakhr r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya Allah Ta'ala itu tidak melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula kepada bentuk rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hatimu sekalian." (Riwayat Muslim)
Dari Abu Musa, yakni Abdullah bin Qais al-Asy'ari r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. ditanya perihal seseorang yang berperang dengan tujuan menunjukkan keberanian, ada lagi yang berperang dengan tujuan kesombongan - ada yang ertinya kebencian - ada pula yang berperang dengan tujuan pameran - menunjukkan pada orang-orang lain kerana ingin berpamer. Manakah di antara semua itu yang termasuk dalam jihad fi-sabilillah?
Rasulullah s.a.w. menjawab:
"Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah - Agama Islam - itulah yang luhur, maka ia disebut jihad fi-sabilillah." (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Hadis di atas dengan jelas menerangkan semua amal perbuatan itu hanya dapat dinilai baik, jika baik pula niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya.
Selain itu dijelaskan pula bahawa keutamaan yang nyata bagi orang-orang yang berjihad melawan musuh di medan perang itu semata-mata dikhususkan untuk mereka yang berjihad fisabilillah, yakni tiada maksud lain kecuali untuk meluhurkan kalimat Allah, iaitu Agama Islam.
Dari Abu Bakrah, yakni Nufai' bin Haris as-Tsaqafi r.a. bahawasanya Nabi s.a.w. bersabda:
"Apabila dua orang Muslim berhadap-hadapan dengan membawa masing-masing pedangnya - dengan maksud ingin berbunuh-bunuhan - maka yang membunuh dan yang terbunuh itu semua masuk di dalam neraka."
Saya bertanya: "Ini yang membunuh - patut masuk neraka -tetapi bagaimanakah halnya orang yang terbunuh - yakni mengapa ia masuk neraka pula?"
Rasulullah s.a.w. menjawab:
"Kerana sesungguhnya orang yang terbunuh itu juga ingin sekali hendak membunuh kawannya." (Muttafaq 'alaih)
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Shalatnya seseorang lelaki dengan berjamaah itu melebihi shalatnya di pasar atau rumahnya - secara sendirian atau munfarid - dengan dua puluh lebih - tiga sampai sembilan tingkat darjatnya. Yang sedemikian itu ialah kerana apabila seseorang itu berwudhu' dan memperbaguskan cara wudhu'nya, kemudian mendatangi masjid, tidak menghendaki ke masjid itu melainkan hendak bersembahyang, tidak pula ada yang menggerakkan kepergiannya ke masjid itu kecuali hendak shalat, maka tidaklah ia melangkahkan kakinya selangkah kecuali ia dinaikkan tingkatnya sedarjat dan kerana itu pula dileburlah satu kesalahan daripadanya - yakni tiap selangkah tadi - sehingga ia masuk masjid.
Apabila ia telah masuk ke dalam masjid, maka ia memperolehi pahala seperti dalam keadaan shalat, selama memang shalat itu yang menyebabkan ia bertahan di dalam masjid tadi, juga para malaikat mendoakan untuk mendapatkan kerahmatan Tuhan pada seseorang dari engkau semua, selama masih berada di tempat yang ia bersembahyang di situ. Para malaikat itu berkata: "Ya Allah, kasihanilah orang ini; wahai Allah, ampunilah ia; ya Allah, terimalah taubatnya." Hal sedemikian ini selama orang tersebut tidak berbuat buruk -yakni berkata-kata soal keduniaan, mengumpat orang lain, memukul dan lain-lain - dan juga selama ia tidak berhadas - yakni tidak batal wudhu'nya.
Muttafaq 'alaih. Dan yang tersebut di atas adalah menurut lafaznya Imam Muslim.
Sabda Nabi s.a.w.: Yanhazu dengan fathahnya ya' dan ha' serta dengan menggunakan zai, ertinya: mengeluarkannya dan menggerakkannya.
Dari Abul Abbas, iaitu Abdullah bin Abbas bin Abdul Muththalib, radhiallahu 'anhuma dari Rasulullah s.a.w. dalam suatu huraian yang diceriterakan dari Tuhannya Tabaraka wa Ta'ala - Hadis semacam ini disebut Hadis Qudsi - bersabda:
"Sesungguhnya Allah Ta'ala itu mencatat semua kebaikan dan keburukan, kemudian menerangkan yang sedemikian itu - yakni mana-mana yang termasuk hasanah dan mana-mana yang termasuk sayyi 'ah.
Maka barangsiapa yang berkehendak mengerjakan kebaikan, kemudian tidak jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah yang Maha Suci dan Tinggi sebagai suatu kebaikan yang sempurna di sisiNya, dan barangsiapa berkehendak mengerjakan kebaikan itu kemudian jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah sebagai sepuluh kebaikan di sisiNya, sampai menjadi tujuh ratus kali lipat, bahkan dapat sampai menjadi berganda-ganda yang amat banyak sekali.
Selanjutnya barangsiapa yang berkehendak mengerjakan keburukan kemudian tidak jadi melakukannya maka dicatatlah oleh Allah Ta'ala sebagai suatu kebaikan yang sempurna di sisiNya dan barangsiapa yang berkehendak mengerjakan keburukan itu kemudian jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah Ta'ala sebagai satu keburukan saja di sisiNya." (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Hadis di atas menunjukkan besarnya kerahmatan Allah Ta'ala kepada kita semua sebagai ummatnya Nabi Muhammad s.a.w.
Renungkanlah wahai saudaraku. Semoga kami dan anda diberi taufik (pertolongan) oleh Allah hingga dapat menginsafi kebesaran belas-kasihan Allah dan fikirkanlah kata-kata ini.
Ada perkataan 'Indahuu (bagiNya), inilah suatu tanda kesungguhan Allah dalam memperhatikannya itu. Juga ada perkataan kaamitah (sempurna), ini adalah untuk mengukuhkan ertinya dan sangat perhatian padanya. Dan Allah berfirman di dalam kejahatan yang disengaja (di-maksud) akan dilakukan, tetapi tidak jadi dilakukan, bagi Allah ditulis menjadi satu kebaikan yang sempurna dikukuhkan dengan kata-kata "sempurna". Dan kalau jadi dilakukan, ditulis oleh Allah "satu kejahatan saja" dikukuhkan dengan kata-kata "satu saja" untuk menunjukkan kesedikitannya, dan tidak dikukuhkan dengan kata-kata "sempurna".
Maka bagi Allah segenap puji dan kurnia. Maha Suci Allah, tidak dapat kita menghitung pujian atasNya. Dan dengan Allah jualah adanya pertolongan.
Artinya :
Dari Abu Abdur Rahman, iaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhuma, katanya: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Ada tiga orang dari golongan orang-orang sebelummu sama berangkat berpergian, sehingga terpaksalah untuk menempati sebuah gua guna bermalam, kemudian merekapun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka berkata bahawasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar ini melainkan jikalau engkau semua berdoa kepada Allah Ta'ala dengan menyebutkan perbuatanmu yang baik-baik. Seorang dari mereka itu berkata: "Ya Allah. Saya mempunyai dua orang tua yang sudah tua-tua serta lanjut usianya dan saya tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu hari amat jauhlah saya mencari kayu - yang dimaksud daun-daunan untuk makanan ternak. Saya belum lagi pulang pada kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya saya pun terus memerah minuman untuk keduanya itu dan keduanya saya temui telah tidur. Saya enggan untuk membangunkan mereka ataupun memberikan minuman kepada seseorang sebelum keduanya, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap dalam keadaan menantikan bangun mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di tangan saya, sehingga fajarpun menyingsinglah, Anak-anak kecil sama menangis kerana kelaparan dan mereka ini ada di dekat kedua kaki saya. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka minum minumannya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan keredhaanMu, maka lapanglah kesukaran yang sedang kita hadapi dari batu besar yang menutup ini." Batu besar itu tiba-tiba membuka sedikit, tetapi mereka belum lagi dapat keluar dari gua.
Yang lain berkata: "Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang anak bapa saudara yang wanita - jadi sepupu wanita - yang merupakan orang yang tercinta bagiku dari sekalian manusia - dalam sebuah riwayat disebutkan: Saya mencintainya sebagai kecintaan orang-orang lelaki yang amat sangat kepada wanita - kemudian saya menginginkan dirinya, tetapi ia menolak kehendakku itu, sehingga pada suatu tahun ia memperolehi kesukaran. lapun mendatangi tempatku, lalu saya memberikan seratus dua puluh dinar padanya dengan syarat ia suka menyendiri antara tubuhnya dan antara tubuhku -maksudnya suka dikumpuli dalam seketiduran. Ia berjanji sedemikian itu. Setelah saya dapat menguasai dirinya - dalam sebuah riwayat lain disebutkan: Setelah saya dapat duduk di antara kedua kakinya - sepupuku itu lalu berkata: "Takutlah engkau pada Allah dan jangan membuka cincin - maksudnya cincin di sini adalah kemaluan, maka maksudnya ialah jangan melenyapkan kegadisanku ini - melainkan dengan haknya - yakni dengan perkahwinan yang sah -, lalu saya pun meninggalkannya, sedangkan ia adalah yang amat tercinta bagiku dari seluruh manusia dan emas yang saya berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian dengan niat untuk mengharapkan keredhaanMu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kita hadapi ini." Batu besar itu kemudian membuka lagi, hanya saja mereka masih juga belum dapat keluar dari dalamnya.
Orang yang ketiga lalu berkata: "Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga bertambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau. Kemudian orang itu pun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini dengan niat mengharapkan keredhaanMu, maka lapangkanlah kita dari kesukaran yang sedang kita hadapi ini." Batu besar itu lalu membuka lagi dan mereka pun keluar dari gua itu. (Muttafaq 'alaih)
Ada beberapa kandungan yang penting-penting dalam Hadis di atas, iaitu:
Kita disunnahkan berdoa kepada Allah di kala kita sedang dalam keadaan yang sulit, misalnya mendapatkan malapetaka, kekurangan rezeki dalam kehidupan, sedang sakit dan lain-lain.
Kita disunnahkan bertawassul dengan amal perbuatan kita sendiri yang shalih, agar kesulitan itu segera lenyap dan diganti dengan kelapangan oleh Allah Ta'ala. Bertawassul ertinya membuat perantaraan dengan amal shalih itu, agar permohonan kita dikabulkan olehNya. Bertawassul dengan cara seperti ini tidak ada seorang ulamapun yang tidak membolehkan. Jadi beliau-beliau itu sependapat tentang bolehnya.
Juga tidak diperselisihkan oleh para alim-ulama perihal bolehnya bertawassul dengan orang shalih yang masih hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh Sayidina Umar r.a. dengan bertawassul kepada Sayidina Abbas, agar hujan segera diturunkan.
Yang diperselisihkan ialah jikalau kita bertawassul dengan orang-orang shalih yang sudah wafat, maksudnya kita memohonkan sesuatu kepada Allah Ta'ala dengan perantaraan beliau-beliau yang sudah di dalam kubur agar ikut membantu memohonkan supaya doa kita dikabulkan. Sebahagian alim-ulama ada yang membolehkan dan sebahagian lagi tidak membolehkan.
Jadi bukan orang-orang shalih itu yang dimohoni, tetapi yang dimohoni tetap Allah Ta'ala jua, tetapi beliau-beliau dimohon untuk ikut membantu mendoakan saja. Kalau yang dimohoni itu orang-orang yang sudah mati, sekalipun bagaimana juga shalihnya, semua alim-ulama Islam sependapat bahawa perbuatan sedemikian itu haram hukumnya. Sebab hal itu termasuk syirik atau menyekutukan sesuatu dengan Allah Ta'ala yang Maha Kuasa Mengabulkan segala permohonan.
Namun demikian hal-hal seperti di atas hanya merupakan soal-soal furu'iyah (bukan akidah pokok), maka jangan hendaknya menyebabkan retaknya persatuan kita kaum Muslimin.
No comments:
Post a Comment